Regional

Pertambangan Tumbuh, Rakyat Sulteng Tertekan Perubahan Iklim

×

Pertambangan Tumbuh, Rakyat Sulteng Tertekan Perubahan Iklim

Sebarkan artikel ini
Kepala Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Lore Lindu Bariri, Asep Firman Ilahi (tengah) menjadi narasumber dalam dialog publik "Peran Jurnalis TV di Era AI: Menghadapi Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif" dalam Musda IJTI Sulteng ke-V di Palu, Sabtu (17/5/2025) lalu. Foto: HO

PEMANASAN global makin mengkhawatirkan. Data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat tahun 2023 sebagai tahun terpanas dalam sejarah modern, dengan suhu global naik 1,5 derajat Celsius pada September. Padahal, target itu baru seharusnya tercapai pada 2050 sesuai Kesepakatan Paris.

Kepala Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Lore Lindu Bariri, Asep Firman Ilahi, menyebut karbon dioksida (CO₂) sebagai penyumbang utama pemanasan global. Gas ini bisa bertahan di atmosfer hingga 32 tahun.

“Setiap kali kita membakar sampah atau menggunakan bahan bakar fosil, dampaknya terasa puluhan tahun ke depan,” ujar Asep dalam dialog publik “Peran Jurnalis TV di Era AI: Menghadapi Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif” dalam Musda IJTI Sulteng ke-V di Palu, Sabtu (17/5/2025).

Catatan SPAG Lore Lindu menunjukkan kenaikan konsentrasi empat gas rumah kaca utama sejak 2017 hingga 2024: karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), dinitrogen oksida (N₂O), dan sulfur heksafluorida (SF₆).

“Tren ini terus meningkat tanpa penurunan,” tegas Asep.

Ia juga menyoroti peran industri pertambangan dan energi yang memperparah kondisi tersebut.

Secara global, sektor industri menyumbang sekitar 37,6 gigaton emisi CO₂ pada 2004. Sektor energi, terutama pembangkit listrik berbasis batu bara dan diesel, menjadi penyumbang terbesar.

Di Sulawesi Tengah, aktivitas tambang emas, nikel, dan mineral lain menyebabkan deforestasi 5.000–6.000 hektare hutan setiap tahun.

Dampaknya meliputi degradasi lingkungan, pencemaran air, peningkatan suhu lokal, hingga gangguan sosial.

Asep juga mencatat kenaikan suhu di Kota Palu sejak 2000, terutama saat El Nino pada 2015–2016 dan 2019. Data mencatat suhu kota naik 1,45 derajat Celsius dibandingkan periode sebelum 1975.

Meski ekonomi Sulawesi Tengah mencatat pertumbuhan tertinggi secara nasional, angka kemiskinan tetap tinggi.

Asep menyebut kondisi ini muncul karena pertumbuhan ditopang sektor tambang dan industri, sementara mayoritas warga menggantungkan hidup pada pertanian dan perikanan dua sektor paling rentan terhadap perubahan iklim.

Transisi Hijau dan Keterlibatan Publik

Asep mengusulkan beberapa solusi. Ia mendorong transisi ke ekonomi hijau melalui investasi pada energi terbarukan seperti surya dan angin. Ia juga menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi lokal agar masyarakat tidak hanya bergantung pada tambang.

Selain itu, ia meminta pemerintah memperkuat regulasi lingkungan dan memperketat pengawasan. Ia juga mendorong edukasi publik dan pelibatan komunitas lokal demi menjamin transparansi dan keberlanjutan.

Pengembangan teknologi ramah lingkungan dan praktik tambang berkelanjutan juga masuk dalam daftar solusi.

“Media dan masyarakat harus berperan aktif untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas,” ungkap Asep.

Bangun Sistem Data Terpadu

Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian, dan Statistik Sulawesi Tengah, Wahyu Agus Pratama, menyatakan bahwa pihaknya telah bergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Pengelolaan Sistem Informasi Hidrologi, Hidrometeorologi, dan Hidrogeologi (PSIH3).

“Kami menyiapkan publikasi dan membangun portal terpadu yang bisa diakses masyarakat dan pemangku kepentingan,” tandas Wahyu.

Portal ini akan menyajikan data hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi secara terbuka untuk mendukung pengambilan kebijakan berbasis data. RAM/MUH