Feature

Melestarikan Hutan dengan Hukum Adat

×

Melestarikan Hutan dengan Hukum Adat

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi, Abter Tendesabu memisahkan buah cokelat atau kakao dari pohonnya menggunakan parang yang ditanam di hutan wilayah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Desa Langko, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (22/6/2023). Selain memetakan area hutan yang bisa dikelola, orang Lindu juga sudah menetapkan wilayah hutan yang sama sekali tidak bisa disentuh apa lagi digarap untuk wilayah perkebunan. Foto: Taufan Bustan/Eranesia.id

ABTER Tendesabu telah bersiap. Sepatu bot terpasang di kaki, dan parang yang menemani kesehariannya sudah melekat di pinggang.

Meski sinar mentari siang itu menyengat, udara di Desa Langko, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, tetap terasa sejuk.

Alam mendukung langkah pria 40 tahun itu untuk memulai aktivitasnya.

“Sudah beberapa hari Lindu hujan. Beruntung sekali hari ini tidak hujan,” ujar Abter sambil berjalan melewati halaman belakang rumahnya, Rabu (21/6/2023).

Baru sekitar 300 meter berjalan, Abter tiba di pintu rimba. Nyanyian misterius Tonggeret menyambutnya.

Tonggeret ini hewan hutan yang mirip lalat besar. Kalau sudah mendengar suaranya, berarti kita sudah sampai di hutan,” jelasnya.

“Suara Tonggeret juga mengusir kesunyian saat berada di hutan. Coba dengar, bunyinya bersahut-sahutan,” lanjut Abter.

Setelah beristirahat 10 menit di pintu rimba, Abter bersama tiga rekannya melanjutkan perjalanan.

Hutan yang basah menandai hujan yang baru saja turun. Jalan setapak licin, sementara pohon-pohon besar berdiri kokoh dan rindang.

Udara semakin dingin, menunjukkan kelestarian hutan yang terjaga.

Kita sudah sampai. Ini batas kebun kami, jaraknya hanya sekitar 30-an meter dari pintu rimba,” kata Abter.

Abter termasuk di antara ribuan orang yang pekerjaan utamanya berkebun di Kecamatan Lindu.

Setiap hari, dia mengurus kebun kakao dan vanili yang ditanam di lahan seluas 600 meter persegi.

Kebun Abter merupakan warisan dari orang tuanya. Dia merawat kebun tersebut dengan tanaman yang memberikan hasil ekonomi lebih baik.

“Dulu, orang tua hanya menanam kakao (cokelat). Saya menambah tanaman baru seperti vanili, karena harga jualnya cukup bagus,” ungkapnya.

Taman Nasional

Orang Lindu menjaga hutan dengan baik, meski kebun mereka berada dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).

Bahkan sebelum TNLL seluas 217.991,18 hektare ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO pada 2007, masyarakat Lindu sudah menjaga kelestarian hutan dan alam mereka.

Mayoritas orang Lindu memahami bahwa hutan dan alam memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.

Air dari hutan menyediakan kebutuhan air bersih, tumbuhan hutan bisa dikonsumsi, dan ikan dari danau bisa diambil secara cuma-cuma.

“Orang Lindu dan hutan adalah satu kesatuan. Kami tidak akan merusak hutan karena hutan menopang kehidupan kami,” tegas Abter.

Orang Lindu percaya bahwa merusak hutan akan mengancam nyawa mereka, tidak hanya diri sendiri tetapi juga seluruh keluarga mereka.

“Ini pernyataan yang disampaikan seluruh orang Lindu ketika ditanya soal hutan,” tambah warga Desa Tomado, Wilfred Kujere.

Oleh karena itu, 4.500 lebih penduduk Kecamatan Lindu yang tersebar di Desa Puroo, Langko, Tomado, Anca, dan Olu menjunjung tinggi kewajiban menghormati hutan.

Zonasi Penggunaan Hutan

Untuk menjaga hutan tetap lestari, masyarakat adat Lindu memberlakukan zonasi dalam pengelolaan hutan mereka, dengan sanksi adat yang berat sebagai batasan.

Para Totua Ngata (majelis adat kampung Lindu) menyusun aturan yang harus dipatuhi To Lindu saat masuk ke hutan.

Ketua Majelis Adat Lindu, Nurdin Yabu Lamojudu, menjelaskan bahwa orang Lindu memiliki semboyan kuat tentang hutan: “Ginoku Katuhuaku,” yang berarti “tempat ini adalah kehidupanku.”

“Hutan dan alam adalah kehidupan yang harus dijaga,” ujarnya.

Totua Ngata menyepakati aturan dan membagi wilayah hutan dalam zonasi.

Zonasi pertama, Wanangkiki, merupakan kawasan hutan yang tidak boleh dikelola oleh To Lindu. Wanangkiki, yang berarti tempat terjauh, dianggap keramat.

“Menyentuh Wanangkiki bisa membahayakan diri,” tegasnya.

Zonasi kedua, Suakantodea, memungkinkan orang Lindu mengambil kebutuhan tertentu seperti kayu untuk membangun rumah, rotan, dan beberapa tanaman lainnya, namun harus mematuhi batasan-batasan.

Zonasi ketiga, Pangale, sudah dikelola sejak lama. Pangale digarap secara berpindah-pindah setiap tiga hingga lima tahun, mirip dengan kehidupan nomaden Suku Bajo di lautan.

Zonasi keempat, Pobondea, Popampa, dan Polida, sepenuhnya dapat dikelola oleh orang Lindu. Pobondea bisa ditanami tanaman produktif seperti kakao, vanili, kopi, dan buah-buahan, sedangkan Popampa untuk tanaman palawija, dan Polida dikhususkan untuk padi.

“Di zonasi keempat ini, meskipun wilayahnya bebas, tetap ada aturan yang harus dipatuhi. Misalnya, tanaman warga lain tidak boleh dirusak atau dicuri,” jelasnya.

Sanksi Adat

Sanksi adat atau givu menjadi rambu yang harus dipatuhi oleh orang Lindu dalam penerapan zonasi. Pelanggar akan dikenakan givu sebagai denda.

Nurdin menjelaskan bahwa givu diberikan kepada mereka yang melanggar zonasi, seperti menebang pohon secara sembarangan, membuka lahan di tempat yang tidak seharusnya, atau mengambil flora dan fauna dari kawasan konservasi TNLL.

“Denda adat tergantung pelanggaran, tetapi umumnya pelanggar harus menyerahkan satu ekor kerbau atau uang tunai sesuai kesepakatan,” jelasnya.

Sanksi terberat berupa pengusiran dari Kecamatan Lindu jika terjadi pelanggaran besar seperti pembakaran hutan.

Selain hutan, kekayaan alam yang dijaga oleh orang Lindu adalah Danau Lindu, yang menjadi pusat kehidupan mereka.

Majelis adat juga menerapkan aturan adat terkait pemanfaatan Danau Lindu, dengan givu sebagai hukuman bagi pelanggar.

Sejauh ini, hanya beberapa orang yang melanggar dan dikenakan sanksi, dengan pelanggaran ringan seperti membuka lahan kebun di luar zonasi.

“Terakhir, pelanggar dikenakan givu berupa kerbau dan diwajibkan menanam kembali pohon,” kata Camat Lindu, Sebulon Satinadja.

Pemerintah selalu dilibatkan dalam keputusan majelis adat, sehingga aturan adat dan pemerintah berjalan selaras.

Sosialisasi aturan adat telah diperluas ke sekolah dasar agar anak-anak orang Lindu sejak dini memahami dan menghormati warisan nenek moyang mereka.

“Dengan zonasi yang jelas dan majelis adat yang terus berjalan, hutan di sekitar permukiman orang Lindu tetap lestari, meski perkampungan warga sudah ada sejak ratusan tahun lalu,” tutupnya. MUH