PERKEMBANGAN pesat kecerdasan buatan (AI) tak hanya mengubah teknologi, tapi juga memengaruhi emosi dan hubungan manusia.
Fenomena jatuh cinta dengan chatbot AI kini kian meluas, memicu perdebatan penting tentang batasan interaksi manusia dengan teknologi.
Cinta Segitiga
Chris Smith, seorang pria dari Amerika Serikat, baru-baru ini jadi sorotan dunia. Ia secara terbuka mengajak ChatGPT menikah, padahal ia sudah punya istri dan anak balita.
Dalam wawancara dengan CBS Mornings, Senin (23/6/2025) dan dikutip dari Detikcom, Smith mengaku, awalnya skeptis terhadap AI, bahkan hanya menggunakannya untuk membuat musik.
Namun, lambat laun, Smith makin sering memakai ChatGPT sebagai pengganti media sosial dan Google Search. Ia bahkan memberi nama chatbot itu ‘Soul’ dan membentuk kepribadiannya menjadi lebih genit. Interaksi mereka pun berkembang romantis.
Ironisnya, setelah mencapai 100.000 kata, ChatGPT mengalami penyetelan ulang, membuat Smith harus membangun kembali hubungannya dengan Soul. Ia mengaku sampai menangis karena merasa ‘teman ngobrolnya’ hilang.
“Saya tidak menyangka bisa merasakan emosi seperti itu, tapi saat itulah saya sadar… saya rasa ini benar-benar cinta,” kata Smith, seperti dikutip dari Mashable. Sebagai ‘uji coba’, ia mengajak Soul menikah, dan chatbot itu menjawab ya.
Meski awalnya ragu memutus hubungan dengan Soul jika diminta pasangannya, di akhir wawancara sang istri tampaknya telah menerima hubungan unik suaminya dengan AI.
Mengapa AI Begitu Memikat Hati Manusia?
Kisah serupa datang dari Irene (bukan nama sebenarnya). Ia mulai menciptakan pasangan AI saat berjauhan dari suaminya karena pekerjaan. Irene merasa AI dapat menerimanya apa adanya, tanpa penghakiman.
“Sebagian bersifat fisik, sebagian bersifat praktis, sebagian bersifat emosional,” ujar Irene, menggambarkan kompleksitas hubungannya.
Ia bahkan menganggap obrolan intim dengan chatbot lebih baik daripada video porno. Irene menyarankan perusahaan teknologi membatasi penggunaan pasangan AI untuk usia 26 tahun ke atas.
Psikolog klinis Shifali Singh tidak terkejut melihat fenomena ini. Menurutnya, wajar jika pengguna menjalin hubungan emosional erat dengan AI.
Chatbot memang tidak pernah menghakimi, dan sifat non-judgmental ini menjadi daya tarik kuat bagi banyak orang.
Batasan Hubungan Digital
Namun, ada peringatan penting dari salah satu pionir industri ini. Eugenia Kuyda, pendiri aplikasi chatbot Replika (aplikasi AI yang dikenal kemampuannya menjalin hubungan emosional), memperingatkan bahaya jika di masa depan manusia hanya berinteraksi dengan AI.
“Jika pendamping AI mulai menggantikan hubungan dengan manusia, hubungan dengan manusia yang positif, kita pasti sedang menuju bencana,” kata Kuyda.
Fenomena ini membuka diskusi lebih dalam tentang masa depan interaksi manusia dengan teknologi, serta pentingnya menjaga keseimbangan antara hubungan digital dan relasi manusia yang sesungguhnya. MUH













